Minggu, 22 Maret 2015

PKn sebagai Pendidikan Karater

PKn sebagai Pendidikan Karakter


PKn memiliki misi sebagai pendidikan demokrasi, pendidikan hukum, pendidikan moral/karakter. Sebagai pendidikan demokrasi, esensinya misi PKn untuk meningkatkan kemampuan partisipasi warga negara dalam mengembangkan dan memelihara system politik demokrasi Pancasila. Sedangkan sebagai pendidikan hukum misi PKn adalah mewujudkan warga Negara yang memiliki kesadaran hukum. Selanjutnya sebagai pendidikan karakter misi PKn adalah membentuk warga negara yang memiliki sikap dan perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya. 



Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memiliki visi sebagai nation and character building. Yakni membangun karakter manusia Indonesia yang Pancasilais, karena ideologi Pancasila merupakan identitas bagi bangsa Indonesia. Selain berdimensi identitas, Pancasila juga berdimensi humanitas (sila kedua dan keempat) dan universalitas (sila pertama  dan keempat) (lihat, Sartono Kartodirdjo,1993: 214). 
Ketika Indonesia menjadi negara merdeka,  proses menjadi bangsa Indonesia terus berlangsung (masih dalam proses pembentukan). Penduduk Indonesia baru lebih merupakan sejumlah kumpulan kelompok etnis dan ras tertentu.  Sehingga tidak mengherankan dalam perjalanan sebagai negara merdeka, NKRI sering dihadapkan pada terjadinya konflik social yang keras dan gerakan separatis yang sangat potensial menimbulkan disintegrasi bangsa. Pada negara bangsa yang demikian, “bangsa itu akan  terbentuk ketika telah adanya kesepakatan bentuk partisipasi politik dan rezim politik (konstitusi) yang hendak dikembangkan”. (Ramlan Surbakti, 1992).
Kesepakatan ini mulai menemukan bentuknya pada era reformasi ini. PKn yang bertujuan mengembangkan kompetensi warga negara berpartisipasi secara bertanggung jawab /sesuai  dengan konstitusi (UUD 1945) yang sedang dikembangkan di era reformasi ini menduduki posisi strategis dalam pembangunan karakter kebangsaan ini.
Konsekuensi PKn sebagai pendidikan politik, hukum dan moral/karakter, maka kemampuan berpartisipasi secara bertanggung jawab bagi warga negara harus sejalan dengan peraturan hukum dan norma moral yang berlaku dalam masyarakatnya. Tanggung jawab warga negara (citizen responsibility/civic responsibilities ) menurut CCE (1994 :37) antara lain dapat dicontohkan:
1.      melaksanakan aturan hukum;
2.      menghargai hak orang lain;
3.      memiliki informasi dan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya;
4.      melakukan kontrol terhadap para pemimpin yang dipilihnya dalam melaksanakan tugas-tugasnya, melakukan komunikasi dengan para wakil di sekolah, pemerintah lokal, pemerintah nasional;
5.      memberikan suara dalam suatu pemilihan;
6.      membayar pajak;
7.      menjadi saksi di pengadilan;
8.      bersedia untuk mengikuti wajib militer, dsb.
Untuk mengembangkan kesadaran hukum pemahaman tentang substansi hukum menjadi sangat penting. Dalam hal ini ada beberapa  cara untuk memahami esensi hukum. Misalnya dikenal Pendekatan Hukum Konservatif dan Pendekatan Hukum Progresif dan hukum sebagai produk politik.
Dalam Pendekatan Hukum Konservatif, hukum dipahami sebatas secara legal-formal seperti secara eksplisit yang terdapat pada bunyi pasal-pasal suatu perundang-undangan. Penegak hukum sekedar sebagai mulut perundang-undangan, hukum telah kehilangan konteks rasa keadilan masyarakat. Hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan prosedural bukan keadilan substansial (rasa keadilan msyarakat). Reaksi terhadap kelemahan pendekatan konservatif muncullah Pendekatan Hukum Progresif. Beberapa pemikiran Satjipto Rahardjo (M. Najibur Rohman, Pak Tjip dan Hukum Progresif, dalam Kompas, 20 Januari 2010), tentang  hukum progresif :
1.      Didasarkan pada pencarian makna hukum sebagai sebuah wasilah (perantara) untuk memperoleh pembebasan dan pencerahan. Karena selama ini pemahaman hukum seringkali hanya didasarkan pada “logika hukum” dan mengesampingkan “logika-logika kemanusiaan).
2.      Bahwa secara filodofis hukum adalah untuk manusia. Karenanya hukum seharusnya tidak diciderai demi kepentingan-kepentingan manusia yang dipenuhi ambisi kekuasaan. Hukum bukanlah untuk golongan tertentu yang memiliki capital sehingga terasa “sangar” untuk rakyat kecil. Dengan kata lain hukum tidak boleh diskriminitaif dan berpihak karena hal ini akan sulit memenuhi hasrat keadilan.
3.      Hukum perlu dijalankan dengan penuh pengertian (understanding) dan rasa keterlibatan yang bahkan memuncak dengan menampilkan kecerdasan spiritual  dalam supremasi hukum. Juga perlu diandasi pertimbangan variable di luar hukum: sosial, budaya bahkan politik.
4.      Untuk memenuhi kualifikasi hukum progresif diperlukan kreativitas para penegak hukum untuk berhukum tidak hanya berlandaskan aturan-aturan formal, namun juga berdasarkan hati nurani. Disini Pancasila dapat dijadikan sebagai landasan bagi pendekatan hukum dari sisi moral yang lahir dari konsep  rule of moral, bukan  rule of law. Bahkan masyarakat Indonesia tentunya lebih memuji para penegak hokum karena komitmen moralnya, bukan semata karena mampu menegakkan peraturan perundang-undangan.
5.      Misalnya, kasus buah kakao, Mbah minah, Pak Tjip menilainya sebagai “sesuatu yang berlebihan” karena seharusnya dapat diselesaikan dengan metode-metode komunalistik yang dianggap lekat dengan kultur bangsa Indonesia sendiri.
Dalam pendekatan hokum progresif keadilan substansial (keadilan yang sesuai hatinurani masyarakat) harus menjadi pertimbangan utama dalam keputusan pengadilan. Dewasa ini pendekatan hukum progresif ada kecenderungan mulai menguat. Mahfud MD ketua MK menyatakan bahwa  MK memegang empat kaidah penuntun dalam merumuskan produk hukum di Indonesia.
Pertama, hukum di Indonesia tak boleh memuat isi yang berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa, baik secara ideologi maupun teritorial.
Kedua, hukum tidak boleh dibuat berdasarkan menang-menangan jumlah pendukung semata, tetapi juga harus sesuai dengan filosofi Pancasila.
Ketiga, tidak dibenarkan adanya produk hukum yang mendorong atau membiarkan terjadinya jurang sosial-ekonomi karena eksploitasi pihak yang kuat terhadap yang lemah.
Keempat, hukum harus membangun toleransi beragama karena Indonesia merupakan negara yang pluralis dan multikultural
Di samping teori hukum progresif, terkait dengan PKn sebagai pendidikan hukum perlu juga memahami hukum sebagai produk politik.  Mahfud MD (1998 : 24 -27) menyatakan bahwa  produk politik/konfigurasi politik adalah susunan kekuatan politik yang secara dikotomis  meliputi konfigurasi politik demokratis dan otoriter.
Konfigurasi politik demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk aktif memenetukan kebijaksanaan umum. Sedangkan konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil seluruh inisiatif dalam pembentukan kebijaksanaan negara.  
Konfigurasi politik demokratis menghasilkan   produk hukum  responsif/populistik , yaitu produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Sedangkan konfigurasi politik otoriter menghasilkan  produk hukum  konservatif/ortodok/elitis, yaitu produk hukum  yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara. 
MEMBENTUK KARAKTER DALAM PENDIDIKAN
Dewasa ini ada kehendak pengembangan karakter sebagai gerakan nasional, terutama melalui pendidikan. Baik di perguruan tinggi maupun persekolahan. Berikut ini digambarkan entang  grand design yang diajukan oleh Tim Pendidikan karakter Kementerian pendidikan Nasional 2010.

 Gambar 1. PROSES PEMBENTUKAN KARAKTER
Kemudian karakter apa saja yang hendak dikembangkan pada warga negara dalam semua santuan pendidikan, dapat dilihat pada gambar berikut ini.
OLAH PIKIR
Cerdas
Kreatif
OLAH HATI
Jujur
Bertanggungjawab
OLAHRAGA (KINESTETIK)
Bersih
Sehat
Menarik
OLAHRAGA DAN KARSA
Peduli
Kreatif

Gambar 2. KONFIGURASI NILAI/KARAKTER UNTUK SEMUA SATUAN PENDIDIKAN
Untuk pengembangan pendidikan karakter di persekolahan mata pelajaran PKn dan mata pelajaran agama merupakan  ujung tombak. Dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional  Pendidikan pasal 6 ayat (1) antara lain ada ketentuan bahwa “Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial,  ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme”.
Dalam perkembangan terakhir sebagai upaya agar pendidikan karakter mudah dilaksanakan telah diidentifikasi nilai-nilai karakter untuk Mata Pelajaran PKn meliputi nilai karakter pokok dan nilai karakter utama. Nilai karakter pokok Mata Pelajaran PKn yaitu : Kereligiusan, Kejujuran, Kecerdasan, Ketangguhan, Kedemokratisan dan Kepedulian. Sedangkan nilai karakter utama Mata Pelajaran PKn yaitu : Nasionalis, Kepatuhan pada aturan sosial, Menghargai keberagaman, Kesadaran akan hak  dan kewajiban diri dan orang lain, Bertanggung jawab, Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, dan Kemandirian.Nilai-nilai karakter utama ini dapat dikembangkan lebih luas, untuk upaya memperkokoh fungsi PKn sebagai pendidikan karakter.  (Draf Panduan Pendidikan Karakter Untuk Guru Mapel  PKn, Direktorat P-SMP,  Dirjen Dikdasmen Kementerian Pendidikan Nasional, 2010).
Nilai karakter di atas, sebenarnya telah cukup memadai. Bung Hatta salah seorang bapak pendiri Negara tercinta mengajukan nilai karakter dalam jumlah tidak begitu banyak tetapi sangat esensial. Menurut Bung Hatta, pendidikan karakter rakyat adalah: mandiri, tahu hak dan kewajiban, mau mengambil tanggung jawab (Rikard  Bagun.2002, halaman xix).
Apabila nilai-nilai karakter telah menjadi watak bangsa Indonesia, maka bangsa kita akan menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Karena telah memenuhi karakteristik sebagai bangsa yang maju dan modern (Ohmae, 2005; Bailey, 2004; Plotkin, 2002; Harrison, 2000, dalam Zamroni 2006), yaitu :
1. Dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat memiliki etika yang dipegang teguh 
2. Warga masyarakat memiliki tanggungjawab 
3. Masyarakat memiliki trust, yang didasarkan pada kejujuran 
4. Warga masyarakat saling menghormati hak orang lain
5. Warga masyarakat patuh kepada hukum dan aturan 
6. Warga masyarakat memegang teguh tepat waktu 
7. Masyarakat memiliki ethos kerja. 

Gambar 3. STRATEGI MIKRO DI SEKOLAH
Kemudian dalam proses pembelajaran yang sangat menunjang karakter adalah pembelajaran aktif (lihat Gambar 4).
Gambar 4. PENANAMAN KARAKTER MELALUI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN INTERVENSI
PENUTUP
Membentuk karakter dalam pendidikan hukum warga negara , adalah dengan cara menanamkan nilai-nilai hukum progresif , hukum responsif dalam sistem hukum Pancasila. Pembentukan karakter diarahkan antara lain pada terbentuknya karakter religius, cerdas, jujur, tangguh, demokratis , peduli, berpikir kritis, kreatif dan inovatif, kepatuhan terhadap norma-norma sosial yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mandiri dan percaya diri.
Karakter dilaksanakan, bukan sebatas wacana/pengetahuan dalam aktivitas pembelajaran, Juga tak kalah penting adalah dengan  keteladanan. Dengan kata lain pembentukan karakter membutuhkan nilai karakter yang jelas, ada sistem dan model.


Bahan Bacaan
Achmad Sanusi.1991.Pengantar PIH dan PTHI. Tarsito : Bandung.
Miriam Budiardjo. 2008. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Moh. Mahfud MD .1998. Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta : LP3ES.
M. Najibur Rohman, 2010. Pak Tjip dan Hukum Progresif, Kompas, 20 Januari .
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Tim Pendidikan Karakter. 2010. Grand Design Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemendiknas.
Ramlan Surbakti.1992.Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Rikard  Bangun.2002. Seratus Tahun Bung Hatta, Jakarta : Buku Kompas.
 

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Posting Komentar