PKn sebagai Pendidikan Karakter
PKn memiliki misi sebagai pendidikan demokrasi,
pendidikan hukum, pendidikan moral/karakter. Sebagai pendidikan demokrasi,
esensinya misi PKn untuk meningkatkan kemampuan partisipasi warga negara dalam
mengembangkan dan memelihara system politik demokrasi Pancasila. Sedangkan
sebagai pendidikan hukum misi PKn adalah mewujudkan warga Negara yang memiliki
kesadaran hukum. Selanjutnya sebagai pendidikan karakter misi PKn adalah
membentuk warga negara yang memiliki sikap dan perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai
Pancasila dan yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya.
Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) memiliki visi sebagai nation and character building.
Yakni membangun karakter manusia Indonesia yang Pancasilais, karena ideologi
Pancasila merupakan identitas bagi bangsa Indonesia. Selain berdimensi
identitas, Pancasila juga berdimensi humanitas (sila kedua dan keempat) dan
universalitas (sila pertama dan keempat)
(lihat, Sartono Kartodirdjo,1993: 214).
Ketika
Indonesia menjadi negara merdeka, proses
menjadi bangsa Indonesia terus berlangsung (masih dalam proses pembentukan).
Penduduk Indonesia baru lebih merupakan sejumlah kumpulan kelompok etnis dan
ras tertentu. Sehingga tidak
mengherankan dalam perjalanan sebagai negara merdeka, NKRI sering dihadapkan
pada terjadinya konflik social yang keras dan gerakan separatis yang sangat
potensial menimbulkan disintegrasi bangsa. Pada negara bangsa yang demikian,
“bangsa itu akan terbentuk ketika telah
adanya kesepakatan bentuk partisipasi politik dan rezim politik (konstitusi)
yang hendak dikembangkan”. (Ramlan Surbakti, 1992).
Kesepakatan
ini mulai menemukan bentuknya pada era reformasi ini. PKn yang bertujuan
mengembangkan kompetensi warga negara berpartisipasi secara bertanggung jawab
/sesuai dengan konstitusi (UUD 1945)
yang sedang dikembangkan di era reformasi ini menduduki posisi strategis dalam
pembangunan karakter kebangsaan ini.
Konsekuensi
PKn sebagai pendidikan politik, hukum dan moral/karakter, maka kemampuan berpartisipasi
secara bertanggung jawab bagi warga negara harus sejalan dengan peraturan hukum
dan norma moral yang berlaku dalam masyarakatnya. Tanggung jawab warga negara
(citizen responsibility/civic responsibilities ) menurut CCE (1994 :37) antara
lain dapat dicontohkan:
1. melaksanakan
aturan hukum;
2. menghargai
hak orang lain;
3. memiliki
informasi dan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya;
4. melakukan
kontrol terhadap para pemimpin yang dipilihnya dalam melaksanakan tugas-tugasnya,
melakukan komunikasi dengan para wakil di sekolah, pemerintah lokal, pemerintah
nasional;
5. memberikan
suara dalam suatu pemilihan;
6. membayar
pajak;
7. menjadi
saksi di pengadilan;
8. bersedia
untuk mengikuti wajib militer, dsb.
Untuk
mengembangkan kesadaran hukum pemahaman tentang substansi hukum menjadi sangat
penting. Dalam hal ini ada beberapa cara
untuk memahami esensi hukum. Misalnya dikenal Pendekatan Hukum Konservatif dan
Pendekatan Hukum Progresif dan hukum sebagai produk politik.
Dalam
Pendekatan Hukum Konservatif, hukum dipahami sebatas secara legal-formal
seperti secara eksplisit yang terdapat pada bunyi pasal-pasal suatu
perundang-undangan. Penegak hukum sekedar sebagai mulut perundang-undangan, hukum
telah kehilangan konteks rasa keadilan masyarakat. Hukum semata-mata untuk
mewujudkan keadilan prosedural bukan keadilan substansial (rasa keadilan
msyarakat). Reaksi terhadap kelemahan pendekatan konservatif muncullah
Pendekatan Hukum Progresif. Beberapa pemikiran Satjipto Rahardjo (M. Najibur
Rohman, Pak Tjip dan Hukum Progresif, dalam Kompas, 20 Januari 2010),
tentang hukum progresif :
1. Didasarkan
pada pencarian makna hukum sebagai sebuah wasilah (perantara) untuk memperoleh
pembebasan dan pencerahan. Karena selama ini pemahaman hukum seringkali hanya
didasarkan pada “logika hukum” dan mengesampingkan “logika-logika kemanusiaan).
2. Bahwa
secara filodofis hukum adalah untuk manusia. Karenanya hukum seharusnya tidak
diciderai demi kepentingan-kepentingan manusia yang dipenuhi ambisi kekuasaan.
Hukum bukanlah untuk golongan tertentu yang memiliki capital sehingga terasa
“sangar” untuk rakyat kecil. Dengan kata lain hukum tidak boleh diskriminitaif
dan berpihak karena hal ini akan sulit memenuhi hasrat keadilan.
3. Hukum
perlu dijalankan dengan penuh pengertian (understanding) dan rasa keterlibatan
yang bahkan memuncak dengan menampilkan kecerdasan spiritual dalam supremasi hukum. Juga perlu diandasi
pertimbangan variable di luar hukum: sosial, budaya bahkan politik.
4. Untuk
memenuhi kualifikasi hukum progresif diperlukan kreativitas para penegak hukum
untuk berhukum tidak hanya berlandaskan aturan-aturan formal, namun juga
berdasarkan hati nurani. Disini Pancasila dapat dijadikan sebagai landasan bagi
pendekatan hukum dari sisi moral yang lahir dari konsep rule of moral, bukan rule of law. Bahkan masyarakat Indonesia
tentunya lebih memuji para penegak hokum karena komitmen moralnya, bukan semata
karena mampu menegakkan peraturan perundang-undangan.
5. Misalnya,
kasus buah kakao, Mbah minah, Pak Tjip menilainya sebagai “sesuatu yang
berlebihan” karena seharusnya dapat diselesaikan dengan metode-metode
komunalistik yang dianggap lekat dengan kultur bangsa Indonesia sendiri.
Dalam
pendekatan hokum progresif keadilan substansial (keadilan yang sesuai
hatinurani masyarakat) harus menjadi pertimbangan utama dalam keputusan
pengadilan. Dewasa ini pendekatan hukum progresif ada kecenderungan mulai
menguat. Mahfud MD ketua MK menyatakan bahwa
MK memegang empat kaidah penuntun dalam merumuskan produk hukum di
Indonesia.
Pertama,
hukum di Indonesia tak boleh memuat isi yang berpotensi menyebabkan
disintegrasi bangsa, baik secara ideologi maupun teritorial.
Kedua,
hukum tidak boleh dibuat berdasarkan menang-menangan jumlah pendukung semata,
tetapi juga harus sesuai dengan filosofi Pancasila.
Ketiga,
tidak dibenarkan adanya produk hukum yang mendorong atau membiarkan terjadinya
jurang sosial-ekonomi karena eksploitasi pihak yang kuat terhadap yang lemah.
Keempat,
hukum harus membangun toleransi beragama karena Indonesia merupakan negara yang
pluralis dan multikultural
Di
samping teori hukum progresif, terkait dengan PKn sebagai pendidikan hukum
perlu juga memahami hukum sebagai produk politik. Mahfud MD (1998 : 24 -27) menyatakan bahwa produk politik/konfigurasi politik adalah
susunan kekuatan politik yang secara dikotomis
meliputi konfigurasi politik demokratis dan otoriter.
Konfigurasi
politik demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan bagi
partisipasi rakyat secara penuh untuk aktif memenetukan kebijaksanaan umum.
Sedangkan konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih
memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil seluruh inisiatif
dalam pembentukan kebijaksanaan negara.
Konfigurasi
politik demokratis menghasilkan produk
hukum responsif/populistik , yaitu
produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.
Sedangkan konfigurasi politik otoriter menghasilkan produk hukum
konservatif/ortodok/elitis, yaitu produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial
elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat
positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program
negara.
MEMBENTUK KARAKTER DALAM PENDIDIKAN
Dewasa
ini ada kehendak pengembangan karakter sebagai gerakan nasional, terutama
melalui pendidikan. Baik di perguruan tinggi maupun persekolahan. Berikut ini
digambarkan entang grand design yang
diajukan oleh Tim Pendidikan karakter Kementerian pendidikan Nasional 2010.
Gambar 1. PROSES PEMBENTUKAN KARAKTER
Kemudian
karakter apa saja yang hendak dikembangkan pada warga negara dalam semua
santuan pendidikan, dapat dilihat pada gambar berikut ini.
OLAH PIKIR
Cerdas
Kreatif
|
OLAH HATI
Jujur
Bertanggungjawab
|
OLAHRAGA (KINESTETIK)
Bersih
Sehat
Menarik
|
OLAHRAGA DAN KARSA
Peduli
Kreatif
|
Gambar 2. KONFIGURASI NILAI/KARAKTER UNTUK SEMUA
SATUAN PENDIDIKAN
Untuk
pengembangan pendidikan karakter di persekolahan mata pelajaran PKn dan mata
pelajaran agama merupakan ujung tombak.
Dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) antara lain ada
ketentuan bahwa “Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status,
hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Kesadaran dan wawasan
termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap
hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup,
kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak,
dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme”.
Dalam
perkembangan terakhir sebagai upaya agar pendidikan karakter mudah dilaksanakan
telah diidentifikasi nilai-nilai karakter untuk Mata Pelajaran PKn meliputi
nilai karakter pokok dan nilai karakter utama. Nilai karakter pokok Mata
Pelajaran PKn yaitu : Kereligiusan, Kejujuran, Kecerdasan, Ketangguhan,
Kedemokratisan dan Kepedulian. Sedangkan nilai karakter utama Mata Pelajaran
PKn yaitu : Nasionalis, Kepatuhan pada aturan sosial, Menghargai keberagaman,
Kesadaran akan hak dan kewajiban diri
dan orang lain, Bertanggung jawab, Berpikir logis, kritis, kreatif, dan
inovatif, dan Kemandirian.Nilai-nilai karakter utama ini dapat dikembangkan
lebih luas, untuk upaya memperkokoh fungsi PKn sebagai pendidikan
karakter. (Draf Panduan Pendidikan
Karakter Untuk Guru Mapel PKn,
Direktorat P-SMP, Dirjen Dikdasmen
Kementerian Pendidikan Nasional, 2010).
Nilai
karakter di atas, sebenarnya telah cukup memadai. Bung Hatta salah seorang
bapak pendiri Negara tercinta mengajukan nilai karakter dalam jumlah tidak
begitu banyak tetapi sangat esensial. Menurut Bung Hatta, pendidikan karakter
rakyat adalah: mandiri, tahu hak dan kewajiban, mau mengambil tanggung jawab (Rikard Bagun.2002, halaman xix).
Apabila
nilai-nilai karakter telah menjadi watak bangsa Indonesia, maka bangsa kita
akan menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Karena telah memenuhi
karakteristik sebagai bangsa yang maju dan modern (Ohmae, 2005; Bailey, 2004;
Plotkin, 2002; Harrison, 2000, dalam Zamroni 2006), yaitu :
1.
Dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat memiliki etika yang dipegang
teguh
2.
Warga masyarakat memiliki tanggungjawab
3.
Masyarakat memiliki trust, yang didasarkan pada kejujuran
4.
Warga masyarakat saling menghormati hak orang lain
5.
Warga masyarakat patuh kepada hukum dan aturan
6.
Warga masyarakat memegang teguh tepat waktu
7.
Masyarakat memiliki ethos kerja.
Gambar 3. STRATEGI MIKRO DI SEKOLAH
Kemudian
dalam proses pembelajaran yang sangat menunjang karakter adalah pembelajaran aktif
(lihat Gambar 4).
Gambar 4. PENANAMAN KARAKTER
MELALUI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN INTERVENSI
PENUTUP
Membentuk
karakter dalam pendidikan hukum warga negara , adalah dengan cara menanamkan
nilai-nilai hukum progresif , hukum responsif dalam sistem hukum Pancasila.
Pembentukan karakter diarahkan antara lain pada terbentuknya karakter religius,
cerdas, jujur, tangguh, demokratis , peduli, berpikir kritis, kreatif dan
inovatif, kepatuhan terhadap norma-norma sosial yang berlaku dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, mandiri dan percaya diri.
Karakter
dilaksanakan, bukan sebatas wacana/pengetahuan dalam aktivitas pembelajaran, Juga
tak kalah penting adalah dengan keteladanan. Dengan kata lain pembentukan
karakter membutuhkan nilai karakter yang jelas, ada sistem dan model.
Bahan Bacaan
Achmad
Sanusi.1991.Pengantar PIH dan PTHI. Tarsito : Bandung.
Miriam
Budiardjo. 2008. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Moh.
Mahfud MD .1998. Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta : LP3ES.
M.
Najibur Rohman, 2010. Pak Tjip dan Hukum Progresif, Kompas, 20 Januari .
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Tim
Pendidikan Karakter. 2010. Grand Design Pendidikan Karakter. Jakarta:
Kemendiknas.
Ramlan
Surbakti.1992.Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Rikard Bangun.2002. Seratus Tahun Bung Hatta,
Jakarta : Buku Kompas.